Tingginya laju sedimentasi di sungai menjadi suatu permasalahan yang umum terjadi di berbagai DAS yang ada di Indonesia. Meningkatnya populasi manusia di wilayah hulu, terbatasnya pemilikan lahan, tingginya kemiskinan serta kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, cenderung memotivasi masyarakat untuk membuka lahan guna menghasilkan sumber pendapatan baru (Farida dan Noordwijk, 2004). Terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam teknik budidaya dan pola pengelolaan lahan juga diduga sebagai pendorong terjadinya aktivitas masyarakat yang berakibat pada menurunnya kualitas & kuantitas air sungai. Munculnya lahan-lahan kritis sebagai akibat dari proses erosi dan longsor dari pola pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan berdampak langsung pada meningkatnya proses sedimentasi di sungai. Kondisi ini merugikan banyak pihak, baik dari masyarakat hulu sendiri selaku pengelola maupun para pengguna air yang berada di daerah hilir selaku pemanfaat. Di satu sisi masyarakat merasa dirugikan dengan seiring menurunnya hasil pertanian dan berkurangnya areal lahan yang mereka miliki, sedangkan di sisi lain banyak pihak sebagai pengguna air yang tidak dapat melakukan kegiatan produksinya secara maksimal (Verbist dan Pasya, 2004). Kondisi di atas juga terjadi di DAS Serayu, tepatnya pada dataran tinggi Dieng. Masyarakat secara intensif mengusahakan lahan miliknya untuk budidaya tanaman semusim, terutama kentang. Usaha budidaya tanaman kentang yang selama ini dilakukan masyarakat cenderung tidak sesuai dengan kaidah konservasi 2 tanah dan sistem budidaya tanaman semusim di lahan kering. Masyarakat selama ini beranggapan bahwa guludan yang sejajar kontur akan membuat aliran air permukaan menjadi terhambat sehingga dikhawatirkan akan membuat tanah menjadi tergenang air hujan yang pada akhirnya akan menyebabkan umbi kentang menjadi busuk sehingga membuat mereka rugi. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa pembuatan teknik konservasi cukup mahal. Paradigma ini yang menyebabkan proses pemahaman mengenai pentingnya pola pertanian ramah lingkungan di Dieng menjadi terkendala. Kondisi diatas berdampak pada produksi kentang yang terus merosot selama empat tahun terakhir. Apabila pada tahun 2004 per hektar tanaman kentang masih menghasilkan 17,6 ton, tahun 2007 bisa 15,4 ton, ternyata tahun 2008 panen hanya tertinggi 10-13,5 ton per hektar. Biaya produksi tanaman pun naik, kalau 2004 per hektar cukup Rp 25 juta, ternyata saat ini kisarannya Rp 40 juta-Rp 48 juta per hektar untuk sekali musim tanam (TKPD 2008). Hal tersebut diperparah dengan semakin membanjirnya kentang impor dari China yang memiliki harga jual relatif lebih murah dibandingkan kentang Dieng, yaitu seharga Rp 3.500/kg sehingga menyebabkan daya jual kentang Dieng kalah bersaing. Memburuknya kualitas tanah dan panenan itu tak menyurutkan alih fungsi lahan. Menurut TKPD (2008), pada tahun 2005 luas lahan kentang di Dieng 5.724 hektar, tahun 2006 menjadi 6.902 hektar. Pada tahun 2008, lahan justru meluas menjadi 8.075 hektar.
Authors:
Pasha, R.; Asmawan, T.; Leimona, B.; Setiawan, E.; Wijaya, C.I.
Subjects:
potassium, soil seed banks, ecosystem approaches, savanna-woodlands
Publication type:
Publication, Thesis
Year:
2012