Suatu badan monitoring emisi telah terbentuk, bertugas melaporkan langsung kepada Presiden Indonesia, merupakan pemenuhan salah satu dari beberapa kriteria rinci dalam kesepakatan kemitraan perubahan iklim tahun 2010 dengan Norwegia. CIFOR/Murdani Usman
BOGOR, Indonesia (11 September 2013) — Sebuah surat keputusan yang ditandatangani presiden Indonesia untuk mendirikan sebuah lembaga nasional yang ditujukan memerangi emisi gas rumah kaca menjadi penanda langkah maju dalam upaya negara ini mengatasi pemanasan global, kata ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR)
Lembaga REDD+ (Penurunan Emisi melalui Deforestasi dan Degradasi Hutan), yang akan melapor secara langsung pada Presiden Susilo Yudhoyono, melengkapi satu dari beberapa kriteria yang dirinci dalam kemitraan perubahan iklim yang disepakati pada 2010 dengan Norwegia.
“Saya mengucapkan selamat atas pengumuman lembaga yang telah lama ditunggu ini,” kata Daniel Murdiyarso, peneliti utama CIFOR. “Bagaimanapun, ini hanyalah awal dari tugas besar terkait tata kelola hutan dan lahan.”
Berdasarkan ketentuan dari perjanjian yang tertulis dalam perjanjian kesepakatan, masing-masing negara saling terbuka untuk pengembangan kebijakan tentang REDD+, suatu kerangka kerja yang didukung oleh PBB guna pengurangan emisi yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan.
Kerangka tersebut, yang masih diperdebatkan oleh negara-negara yang terlibat dalam perundingan perubahan iklim, memberikan nilai finansial untuk karbon yang tersimpan di dalam pepohonan, membentuk suatu potensi insentif untuk menjaga pepohonan tetap berdiri.
Perdebatan tentang bagaimana mengukur, melaporan dan memverifikasi (MRV) pengurangan karbon tersebut terhenti pada saat perundingan perubahan iklim tahun 2012 di Doha, Qatar
“Saya ingin tahu bagaimana sistem dan instituti MRV akan dibangun dan menunjukkan sifat independen,” lanjut Murdiyarso.
Teks lengkap surat keputusan dapat dibaca di sini.